November 21, 2008

Hukum Wanita haidh berdiam di masjid dan membaca al-Qur’an

Pertanyaan : Bagaimana hukumnya wanita haidh yg berdiam diri dimasjid, dan bagaimana jika membaca al-qur’an?

Jawab :

Ada dua pembahasan dalam hal ini, yaitu (1) hukum wanita haidh berdiam diri di Masjid dan (2) hukum wanita haidh membaca al-Qur`an.

Untuk pertanyaan pertama, yaitu tentang hukum wanita haidh berdiam diri di masjid. Maka dalam hal ini para ulama semenjak salaf dan kholaf berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya wanita muslimah yang sedang haidh berdiam diri di masjid. Sebagian Syafi’iyah melarang wanita haidh dan nifas untuk berdiam diri di masjid dan melewati masjid. Sedangkan Hanabilah, memperbolehkan wanita haidh dan nifas untuk lewat saja namun tidak memperbolehkan berdiam diri di masjid. Diantara yang berpendapat tidak bolehnya wanita haidh berdiam diri di masjid adalah Syaikh al-‘Allamah al-‘Utsaimin rahimahullahu dan Syaikh al-Muhaddits ‘Abdul Karim al-Khudair hafizhahullahu.

Sebagian ulama ada yang memperbolehkan secara mutlak, seperti yang dibawakan oleh Imam asy-Syaukani dalam Naylul Authar dari Imam al-Muzanni sahabat Imam Syafi’i, Imam Nawawi juga membawakan riwayat di dalam al-Majmu´ dari Zaid bin Aslam, demikian pula penulis kitab al-Fathur Robbani lit Tartibil Musnad dari Zaid bin Tsabit dan Dawud azh-Zhahiri. Diantara ulama kontemporer yang berpendapat bolehnya wanita haidh berdiam diri di Masjid adalah Syaikh al-Muhaddits al-Albani rahimahullahu dan Syaikh Musthofa al-‘Adawi dalam Jami’ Ahkamin Nisa’.

Yang rajih (kuat) sejauh pengetahuan kami adalah, boleh bagi wanita muslimah haidh untuk melewati atau berdiam diri di masjid. Hal ini disebabkan tidak ada satu dalilpun yang sharih (tegas) dan shahih yang menunjukkan pelarangan hal ini. Namun yang lebih selamat adalah bagi wanita haidh untuk menjauhi masjid. Wallohu a’lam.

Adapun membaca Al Qur’an bagi seorang yang terkena junub, wanita haid dan nifas, maka dalam masalah ini ada perbedaan di antara ‘Ulama. Ada yang membolehkan secara mutlak, ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada pula yang mengharamkan bagi orang yang terkena junub, tapi membolehkan bagi orang yang haid dan nifas.

Dan yang lebih mendekati kebenaran -sejauh pengetahuan kami- adalah yang membolehkan secara mutlak dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha : ”Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa berdzikir dalam setiap keadaan”.(HR. Muslim) dan Al-Qur’an adalah termasuk dzikir yang paling mulia.

2. Baro’ah Al Ashliyah (kembali kepada hukum asal), karena tidak ada satupun dalil yang shahih yang menunjukkan keharamannya.

Dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.

Imam Bukhori berkata: ”Ibrahim berkata: “Tidak mengapa bagi wanita haid untuk membaca ayat Al-Qur`an, dan Ibnu Abbas berpendapat akan bolehnya seseorang yang junub untuk membaca al-Qur’an, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdzikir dalam segala keadaan.”

Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh yang mengharamkan, maka tidak lepas dari dua hal, kalau tidak lemah, pasti ihtimal (mengandung beberapa makna), diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Hadits: ”Tidak boleh seseorang yang haid atau junub untuk membaca Al-Qur’an”, hadits ini adalah dhoif sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar.

2. Ayat yang artinya: ”tidak boleh menyentuhnya (Al-Quran) kecuali “Al-Muthohharun” (orang yang disucikan). Jawabannya adalah, bahwa yang di maksud al-Muthohharun di sini adalah para malaikat, sedangkan manusia adalah al-Mutathohhirun (orang-orang yang bersuci) dan bukan yang disucikan. Jadi manusia tidak masuk dalam ayat di atas, dengan demikian ayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengharamkan orang haidh dan junub untuk membaca Al-Quran.

3. Hadits ”Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”. Dan inipun bisa dijawab, bahwa orang islam adalah suci, sebagaimana hadits: ”Bahwa orang islam itu tidak najis” (HR. Bukhori dan Muslim).

Jadi kesimpulanya adalah, bahwa membaca al-Quran bagi orang yang junub haid dan nifas adalah boleh berasarkan kaidah asal yang telah disebutkan dan keumuman hadits, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdzikir dalam setiap keadaan, kalaupun hal itu masuk dalam katagori larangan, maka bukan menunjukkan keharaman tapi makruh. Wallohu A’lam. Wallohu a’lam bish showab.

(disarikan dari kitab As’ilah Thoola Haulahal Jidal, karya Syaikh Abdurrahman Abdush Shomad dengan beberapa tambahan).
http://konsultasi.stai-ali.ac.id/?p=117

Tidak ada komentar: