November 14, 2008

Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama Adalah Bid'ah

PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Penjelasan Kaidah Kesepuluh

“Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama Adalah Bid‘ah. Setiap Bid‘ah Adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka.”

[A]. Pengertian Bid‘ah.

Bid’ah berasal dari kata al-ikhtira’ yaitu yang baru yang dicip-takan tanpa ada contoh sebelumnya.[1]

Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna[2]. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wa-fatnya Nabi j berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan. [3] Bila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya[4]. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Allah pencipta langit dan bumi...” [Al-Baqarah : 117]

Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.[5]

Bid’ah menurut istilah memiliki beberapa definisi di kalangan para ulama yang saling melengkapi.

Di antaranya:

Al-Imam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah.

Beliau Rahimahullah mengungkapkan: “Bid’ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran.[6]

Bid’ah itu sendiri ada dua macam: Bid’ah dalam bentuk ucapan atau keyakinan, dan bentuk lain dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua. [7] Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Asal dari ibadah adalah tidak disyai’atkan, kecuali yang telah disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan asal dari kebiasaan adalah tidak dilarang, kecuali yang dilarang oleh Allah[8]. Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal masalah keduniaan adalah dibolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Beliau (Ibnu Taimiyah Rahimahullah) juga menyatakan: “Bid’ah adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau ijma’ para Ulama as-Salaf berupa ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, dan mereka yang beribadah dengan tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka yang beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai bid’ah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang berten-tangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallaahu a’lam.”[9]

Imam Asy-Syathibi (wafat tahun 790 H) Rahimahullah.[10]

Beliau menyatakan: "Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah".

Ungkapan ‘cara baru dalam agama’ itu maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari’at.

Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.

Ungkapan ‘menyerupai syari’at’ sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syariat, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan ‘untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah’, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepadaNya seperti disebutkan dalam firmanNya : “Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” [Adz-Dzariyaat : 56]. Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah seba-gaimana maksud ayat tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta dia mengulang-ulanginya.[11]

Beliau Rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at.” [12]

Beliau menetapkan definisi yang kedua tersebut, bahwa kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengan-dung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah meng-korelasikan berbagai definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum pidana,... karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, persyaratan dan kaidah-kaidah syariat yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang muslim selain ketetapan baku itu. [13]

Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah[14] (wafat th. 795 H).

Beliau Rahimahullah menyebutkan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikata-kan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun batin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.

Contohnya adalah ucapan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (Shalat Terawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu 'anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah yang semacam ini.” [15]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawadits wal Bida’ (hal. 40) dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary.
[2]. Mukhtarush Shihah (hal. 44).
[3]. Al-Qamus al-Muhith, Lisanul ‘Arab dan Fataawaa Ibnu Taimiyyah.
[4]. Mu’jamul Maqaayis fil Lughah (hal. 119).
[5]. Mufradaat Alfaazhil Qur-an (hal. 111) oleh ar-Raaghib al-Ashfahani, materi kata bada’a.
[6]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/107-108).
[7]. Ibid, (XXII/306).
[8]. Ibid, (IV/196).
[9]. Ibid, (XVIII/346) dan lihat juga (XXXV/414).
[10]. Al-I’tisham (hal. 50) oleh Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathy asy-Syathibi tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly. Daar Ibni ‘Affan Cet. II, 1414 H.
[11]. Lihat Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12]. Al-I’tisham (hal. 51).
[13]. Al-I’tisham (II/568, 569, 570, 594). Lihat juga Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid’ah (hal. 30-31) oleh Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthany.
[14]. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (hal. 501, cet. II, Daar Ibnul Jauzi-1420 H) tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad. Lihat Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid’ah (hal. 30-31).
[15]. Shahih al-Bukhari (no. 2010)

Tidak ada komentar: