Desember 02, 2008

Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan da’i yang menyeru kepada jalan Allah dengan ilmu dan keterangan.

Amma ba’du. Saudara-saudaraku sekalian kaum muslimin -semoga Allah semakin mempererat tali persaudaraan kita karena-Nya- perjalanan hidup kita di alam dunia merupakan sebuah proses perjuangan untuk menggapai keridhaan-Nya. Kita hidup bukan untuk berhura-hura atau memuaskan hawa nafsu tanpa kendali agama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah menumbuhkan kecintaan yang dalam di dalam hati kita kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum- sebagaimana kita sadari bersama bahwa agama Islam adalah ajaran yang sempurna. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak paham dan orang yang menyombongkan dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)

Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan yang lurus dan tidak berpaling darinya- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah petunjuk terang benderang baginya dan dia malah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing di dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dirinya ke dalam neraka jahannam. Dan sungguh jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)

Bagi kita ajaran atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kehancuran dan mata air yang akan mengalirkan kesejukan iman. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah/ajaranku dan ajaran para khalifah yang berpetunjuk lagi lurus sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham serta jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), sebab setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi menilai hadits ini hasan)

Oleh karena itu sudah semestinya kita -sebagai orang yang mengaku beriman- untuk mengembalikan segala bentuk perselisihan kepada Hakim yang paling bijaksana yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah), hal itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisaa’: 59)

Mujahid dan para ulama salaf yang lainnya menafsirkan perintah kembali kepada Allah dan rasul yang terdapat dalam ayat ini dengan mengatakan yaitu kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan orang -dalam hal pokok agama maupun cabang-cabangnya- maka perselisihan itu harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apa saja perkara yang kalian perselisihkan maka keputusannya dikembalikan kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10). Maka apa pun yang telah diputuskan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta didukung oleh dalil yang benar dari keduanya itulah kebenaran, “dan tiada lagi sesudah kebenaran melainkan kesesatan.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 250).

Di hadapan kita terdapat persoalan yang telah membuat lisan sebagian orang melontarkan tuduhan-tuduhan yang tak pantas kepada Ahlus Sunnah dan dakwahnya, bahkan saking getolnya memuja keyakinan sufi yang dianggapnya benar maka dia pun tidak segan melontarkan ucapan-ucapan aneh yang menunjukkan kerancuan aqidah yang tertancap di dalam dadanya.

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi…” ?!

Baiklah, memang pahit di lidah dan panas di telinga, namun terpaksa kalimat-kalimat ini kami sebutkan di sini demi menerangkan kebenaran dan membantah kebatilan, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk bersatu di atas kebenaran, Allahul musta’aan.

Sebagai jalan untuk memecahkan persoalan ini maka akan saya kutip ucapan indah dari orang yang sama yang telah mengucapkan kalimat-kalimat di atas. Orang tersebut -semoga Allah menambahkan hidayah kepada-Nya- mengatakan dengan jujur dan tulus, “Maka sebaiknya kita tanya dulu kepada Orang yang lebih tahu daripada Kita, Karena di atas langit masih ada langit.” Alangkah bagus ucapannya sebab bersesuaian dengan sebuah firman Allah yang mulia (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui suatu perkara, dengan dasar keterangan dan kitab-kitab…” (QS.An-Nahl: 43-44). Tentu saja tempat kita bertanya adalah para ulama yang mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Insya Allah ucapan dan keterangan mereka akan kami sebutkan untuk menenangkan hati dan pikiran kita.

Sebelum lebih jauh menanggapi hal ini, dengan memohon taufik dari-Nya maka kami perlu kemukakan beberapa hal di sini agar duduk perkaranya menjadi jelas dan tidak terjadi kesalahpahaman.

Saudaraku sekalian -semoga Allah mengokohkan kita di atas kebenaran, bukan di atas kebatilan- ajaran Sufi yang populer dan kata orang mengajarkan penyucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah serta membuang jauh-jauh ketergantungan hati kepada dunia serta mengikatkan hati manusia hanya kepada Allah, kita telah akrab dengan istilah ini. Meskipun demikian, sebagai muslim yang baik tentunya kita tidak akan berbicara dan bersikap kecuali dengan landasan dalil dari Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)

Saudaraku sekalian, sesungguhnya perkara penyucian jiwa, melembutkan hati dan pendekatan diri kepada Allah serta melepaskan ketergantungan hati kepada dunia dan mengikatkan hati manusia kepada Rabbnya merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa kita ragukan barang sedikit pun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah mengaruniakan nikmat bagi orang-orang yang beriman ketika mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah) padahal sebelumnya mereka dulu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164). Maka tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membacakan dan menerangkan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa manusia dari berbagai kotoran dosa dan kesyirikan, dan mengajarkan Al-Kitab dan As-Sunnah kepada mereka.

Oleh karena itulah apabila kita membuka kitab-kitab hadits akan kita jumpai di sana sebuah bab khusus yang menyebutkan riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan penyucian jiwa dan melembutkan hati. Contohnya di dalam Sahih Bukhari, Al-Bukhari rahimahullah menulis Kitab Ar-Riqaaq (hal-hal yang dapat melembutkan hati), di sana beliau membawakan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkait dengan hal ini sebanyak seratus hadits lebih, yaitu hadits no. 6412-6593 (lihat Sahih Bukhari cet. Maktabah Al-Iman, halaman. 1306-1332)

Demikian juga murid Al-Bukhari yaitu Muslim rahimahullah membuat Kitab Ar-Riqaaq, Kitab At-Taubah, Kitab Shifatul Munafiqin wa ahkamuhum, Kitab Shifatul qiyamah wal jannah wan naar, dan lain sebagainya hingga Kitab Az-Zuhd wa raqaa’iq yang mencantumkan dua ratus hadits lebih tentang penyucian jiwa dan hal-hal yang terkait dengannya di dalam Sahihnya (lihat Sahih Muslim yang dicetak bersama Syarah Nawawi, hal. 5-259). Demikian pula di antara para ulama ada yang menyusun kitab khusus tentangnya seperti Adz-Dzahabi yang menulis kitab Al-Kaba’ir tentang dosa-dosa besar. An-Nawawi yang menulis Riyadhush Shalihin yang mencakup berbagai pembahasan tentang penempaan diri dan penyucian jiwa. Shifatu Shafwah dan Al-Latha’if karya Ibnul Jauzi. Bahkan banyak kitab hadits yang dinamakan dengan kitab Az-Zuhd, seperti Az-Zuhd karya Abu Hatim Ar-Razi, Az-Zuhd karya Abu Dawud, Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain, semoga Allah merahmati mereka semua. Bukankah dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian riwayat-riwayat hadits sahih serta penjelasan ulama yang ada di dalam kitab-kitab tersebut kita dapat mempelajari bagaimanakah menyucikan jiwa, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan bagaimana melepaskan ketergantungan hati kepada selain-Nya…

Inilah pelajaran-pelajaran akhlak dan penyucian jiwa yang disampaikan oleh para ulama kepada kita. Sehingga kalau yang dimaksud sufi adalah itu semua (penyucian jiwa dsb) maka akan kita katakan bahwa itulah yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias manhaj salaf kepada umat manusia. Oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai salah satu sifat Ahlus Sunnah, “Mereka memerintahkan untuk sabar ketika tertimpa musibah, bersyukur ketika lapang, serta merasa ridha dengan ketetapan takdir yang terasa pahit. Mereka juga menyeru kepada kemuliaan akhlak dan amal-amal yang baik, mereka meyakini makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.’…” (Aqidah Wasithiyah, hal. 87). Kalau ajaran menyucikan diri dan menggantungkan hati hanya kepada Allah -sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabat- disebut sufi maka saksikanlah bahwa saya adalah seorang sufi!

Namun, ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kalau kita cermati lebih jauh ajaran sufi atau tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke dalamnya beserta tetek bengek ajaran dan lontaran-lontaran aneh yang mereka angkat, niscaya akan teranglah bagi kita bahwa sebenarnya ajaran Sufi yang berkembang hingga hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri kita secara khusus- telah banyak menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana pernah disinggung oleh Buya HAMKA rahimahullah di dalam pidatonya dalam acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir pada tanggal 21 Januari 1958 -lima puluh tahun yang silam-, beliau mengatakan, “Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah daripada syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7)

Inilah ucapan yang adil dan bijak dari orang besar seperti beliau. Berikut ini akan kami kutip penjelasan yang diberikan oleh Bapak Hartono Ahmad Jaiz -semoga Allah membalas kebaikannya- yang telah memaparkan mengenai sejarah ajaran sufi ini di dalam bukunya ‘Tasawuf Belitan Iblis’. Beliau mengatakan: “Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (aliran yang menyeleweng, aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia, orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).

Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka, di antaranya beliau mengatakan: “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum zhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371). Sekian nukilan kami dari Tasawuf Belitan Iblis.

Pembaca sekalian, dari keterangan di atas kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i rahimahullah sendiri termasuk ulama yang mengecam kaum sufi dan ajaran tasawufnya yang menyimpang. Agar tidak terlalu berpanjang-lebar, maka baiklah untuk membuktikan penyimpangan mereka akan kita akan kutip kembali pendapat dan keyakinan mereka beserta komentar atas kerancuan yang ada di dalamnya, Allahlah pemberi petunjuk dan pertolongan kepada kita.

Pertama:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”

Tanggapan:

Yang menjadi masalah di sini adalah ucapannya “(kita) Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.” Apakah maksud dari ucapan ini? Apakah artinya manusia adalah bagian dari Allah sebagaimana makna yang bisa secara langsung ditangkap dari ucapannya ataukah yang lainnya? Kalau yang dimaksud adalah yang pertama, maka sangat jelas kebatilannya. Allah bukan hamba dan hamba bukan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, alias hamba dan bukan tuhan atau bagian dari tuhan!

Kalau ada orang yang meyakini demikian -dirinya adalah Allah- maka dia telah kafir. Lantas kalau yang dimaksud adalah makna yang lain, kita akan bertanya apa maknanya? Kalau pun maksud yang mereka inginkan benar, maka kita katakan bahwa ucapan-ucapan semacam ini adalah ucapan yang tidak pada tempatnya bahkan bid’ah! Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan demikian? Adakah para sahabat, imam yang empat mengajarkan demikian? Bacalah kitab-kitab tafsir dan hadits… Wajarlah apabila Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelumz dhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Cobalah kaum sufi itu berguru kepada Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku beriman kepada Allah serta apa yang datang dari Allah sebagaimana yang diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah serta apa yang disampaikan oleh Rasulullah sebagaimana yang diinginkan oleh Rasulullah.” (lihat Lum’at Al-I’tiqad). Apakah Allah atau Rasul-Nya mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah bagian dari-Nya? Kita hidup dan mati di dalam diri-Nya? Allah Maha suci dari ucapan mereka.

Kedua:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.”

Tanggapan:

Aneh bin ajaib! Menurutnya Allah di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana. Di dalam diri kita -katanya- ada Tuhan… [?] Maha suci Allah… Ucapan semacam inilah yang membuat orang semakin bertambah dungu -sebagaimana disinggung oleh Imam Syafi’i di atas-, adakah orang berakal yang mengucapkan perkataan seperti ini, “Allah ada di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana” Allahu akbar! Apakah ada anak kecil yang mengatakan, “Saya laki-laki tapi bukan laki-laki” [?]

Padahal Allah ta’ala sendiri berfirman tentang diri-Nya (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Bagaimanakah kita memahami ayat ini? Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang selamat dalam hal ini adalah jalan ulama salaf yaitu memberlakukannya sebagaimana adanya di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa membagaimanakan, tanpa menyelewengkan, tanpa menolak, dan tanpa menyerupakan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 5 hal. 202). Apakah ayat ini menunjukkan bahwa Allah membutuhkan Arsy sebagaimana sangkaan sebagian orang? Sama sekali tidak. Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah di dalam kitab Aqidah Thahawiyahnya, yang menjadi rujukan ulama dari keempat madzhab mengatakan, “Dan Dia (Allah) tidak membutuhkan Arsy dan apa pun yang berada di bawahnya, Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di atasnya…” (dinukil dari Syarah Ibnu Abil ‘Izz dengan tahqiq Al-Albani, hal. 280)

Dikisahkan bahwa Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya mengenai orang yang mengatakan, “Aku tidak mengetahui apakah Rabbku di atas langit atau di bumi.” Maka beliau menjawab bahwa orang yang mengucapkan itu telah kafir, sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Sedangkan Arsy-Nya berada di atas tujuh lapis langit-Nya.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya bagaimana kalau dia mengatakan, “Allah berada di atas Arsy, tapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di atas langit atau di bumi.” Maka Abu Hanifah berkata, “Dia juga kafir. Sebab dia telah mengingkari Allah berada di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari Allah berada di atas langit maka dia kafir.” (Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 288). (Akan tetapi dalam prakteknya sekarang tentunya kita tidak begitu saja mengatakan kafir apabila bertemu orang yang berkata seperti di atas, karena untuk mengafirkan masih ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi -ed)

Ketiga:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”

Tanggapan:

Subhanallah, tidak henti-hentinya kaum sufi ini berdusta dan mempermainkan kata-kata semaunya. Apakah Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakan bahwa Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia, karena sebegitu dekatnya? Sekali lagi inilah bukti bahwa orang-orang sufi telah meninggalkan ilmu dan terpedaya dengan akal mereka yang rusak. Untuk menanggapi ucapan semacam ini cukuplah kami kutip fakta sejarah yang dibawakan oleh penulis buku Tasawuf Belitan Iblis berikut ini:

“Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.

Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.” (Sekian nukilan kami)

Kalau mereka mengatakan bahwa Allah bisa menyatu dalam diri mereka, lantas buat apa mereka beribadah, lantas untuk apa mereka menyembah, kalau semua orang mengaku dirinya adalah Allah maka siapakah yang akan disembah? Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar! Kemudian, kalau mereka maksudkan dengan ucapan-ucapan itu makna yang lain, maka akan kita katakan bahwa ucapan ini adalah bid’ah dan tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kalau ucapan-ucapan semacam ini dibiarkan maka syariat Islam akan berantakan. Ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada orang tua mempelai perempuan, “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan.” Kemudian setelah itu dia akan berkata kepada si mertua “Saya terima nikahnya tapi tidak menerima nikahnya.” Lah, bagaimana ini? Sejak kapan orang-orang itu menjadi kehilangan akalnya? Rumah sakit jiwa lebih layak bagi orang-orang semacam itu daripada masjid.

Keempat:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi..”

Tanggapan:

Saudaraku, kalau memang ajaran sufi dengan berbagai macam aliran tarekatnya adalah benar dan para imam madzhab mengikutinya apa alasan kami untuk tidak mengikuti kalian? Namun yang menjadi masalah adalah ajaran-ajaran sufi telah jelas terbukti penyimpangannya. Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan para ulama yang lain telah memaparkan kepada kita tentang kesesatan ajaran mereka. Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi orang sufi sekedar kata-kata yang bisa dipermainkan ke sana kemari. Allah ta’ala mengatakan bahwa Allah itu esa (Qul Huwallahu Ahad). Sementara orang-orang sufi mengatakan Allah menyatu dalam diri hamba-hambaNya, padahal hamba Allah itu banyak. Allah mengatakan bahwa diri-Nya tinggi berada di atas Arsy-Nya, sementara orang-orang sufi mengatakan Allah di mana-mana tapi juga tidak di mana-mana. Allahul musta’an, kalau memang boleh mengatakan demikian maka kita juga akan mengatakan “Semua Imam Madzhab pada akhirnya kembali kepada Wahabi. Kecuali sufi.” Allahu yahdik.

Saudaraku, kami tidak bermaksud untuk mencaci maki siapa pun, kami hanya ingin saudara kami kembali ke jalan yang benar, itu saja. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir -rahimahullah- dalam kitabnya: Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar (Tasawuf, Asal Muasal dan Sumber-Sumbernya) [halaman 28] berkata: “Jika kita amati ajaran-ajaran tasawuf dari generasi pertama hingga akhir serta ungkapan-ungkapan yang bersumber dari mereka dan yang terdapat dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa di sana terdapat perbedaan yang sangat jauh antara tasawuf dengan ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah, begitu juga kita tidak akan mendapatkan landasan dan dasarnya dalam sirah (sejarah) Rasulullah serta para sahabatnya yang mulia yang merupakan makhluk-makhluk pilihan Allah. Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa tasawuf diadopsi dari ajaran kependetaan kristen, kerahiban Hindu, ritual Yahudi dan kezuhudan Buda” (sebagaimana dikutip oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah -salah seorang ulama besar Saudi Arabia- dalam bukunya Hakikat Tasawuf [terjemah], hal. 20)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang meniti jalan kefakiran, tasawuf, zuhud dan ibadah; apabila dia tidak berjalan dengan bekal ilmu yang sesuai dengan syariat maka akibat tanpa bimbingan ilmu itulah yang membuatnya tersesat di jalan, dan dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Sedangkan orang yang meniti jalan fikih, ilmu, pengkajian dan kalam; apabila dia tidak mengikuti aturan syariat dan tidak beramal dengan ilmunya, maka akibatnya akan menjerumuskan dia menjadi orang yang fajir (berdosa) dan tersesat di jalan. Inilah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap muslim. Adapun sikap fanatik untuk membela suatu urusan apa saja tanpa landasan petunjuk dari Allah maka hal itu termasuk perbuatan kaum jahiliyah.” (Majmu’ Fatawa, juz 2 hal. 444. Asy-Syamilah)

Sebelum menutup tulisan ini, perlu kiranya kita ingat bersama dampak yang timbul akibat merebaknya ajaran sufi ini di masyarakat -khususnya di negeri kita ini- sebagaimana yang pernah kami saksikan sendiri bahkan kami dahulu termasuk di antara mereka -dengan taufik dari Allahlah kami meninggalkannya dan menemukan manhaj salaf yang mulia ini-, perhatikanlah dengan mata yang jernih dan pikiran yang tenang… bukankah tersebarnya pemujaan kubur-kubur wali dan orang-orang salih -yang notabene adalah syirik dan bid’ah- di negeri ini timbul karena dakwah dan ajaran sufi? Cermatilah wahai saudaraku yang cerdas… betapa ramainya kubur para wali dikunjungi dan dijadikan tempat untuk mencari berkah, berdoa, beristighotsah dan bertawassul dengan orang-orang yang sudah mati. Dimanakah gerangan itu terjadi?, apakah di pusat-pusat dakwah salafiyah -yang hakiki- ataukah di pusat-pusat dakwah salafiyah yang sebenarnya lebih layak untuk disebut sufi? Padahal, kita semua mestinya sudah mengerti bahwa dosa kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)

Sebagaimana pula kebid’ahan bukan semakin menambah pelakunya dekat dengan Allah, namun justru semakin dekat dengan syaitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafazh Muslim). Simaklah keterangan Ibnu Hajar dan An-Nawawi berikut ini… semoga hati kita menjadi semakin mantap mengikuti kebenaran…. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini tergolong pokok ajaran Islam dan salah satu kaidahnya. Makna dari hadits ini adalah; barangsiapa yang mereka-reka sesuatu dalam urusan agama yang tidak didukung dengan dalil di antara dalil-dalil agama yang ada maka hal itu tidak diakui.” (Fath Al-Bari, 5/341, lihat juga keterangan serupa oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/295). An-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi segala bentuk perkara yang baru (dalam agama), sama saja apakah yang menciptakan itu adalah pelakunya atau ada orang lain yang lebih dulu membuatnya.” (Syarh Muslim, 6/295). Itulah ucapan yang adil dan bijak dari dua orang ulama besar penganut madzhab Syafi’i…

Sungguh bijak ucapan buya HAMKA rahimahullah yang mengatakan, “Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah dari syirik, bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7. Buku ini dapat didownload di perpustakaanislam.com).

Semoga Allah berkenan memberikan taufik kepada saudara-saudara kami yang meninggalkan jalan yang lurus agar mereka kembali menuju jalan yang lurus itu kembali. Alangkah senangnya hati kami jika saudara-saudara kami mendapatkan hidayah, sebagaimana kami juga meminta kepada-Nya dengan nama-namaNya yang terindah dan sifat-sifatNya yang maha tinggi untuk mewafatkan kita di atas jalan yang lurus itu dalam keadaan Allah meridhai kita dan mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa.

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

November 21, 2008

Fitnah Wanita

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ.

Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita. (Muttafaq ‘alaihi)

Sungguh, fitnah wanita termasuk cobaan terbesar dan paling mengerikan bagi kaum Adam. Karena wanita, dua orang laki-laki berkelahi. Lantaran wanita, dua kubu saling bermusuhan dan saling serang. Oleh sebab wanita, darah begitu murah dan mudah diguyurkan. Karena wanita, seorang dapat terjatuh dalam jurang kemaksiatan. Bahkan, karena wanita, si cerdas yang baik dapat berubah menjadi dungu dan liar.

Jarir bin ‘Athiyyah al-Khathafi bersenandung:

إِنَّ العُيُوْنَ الَّتِيْ فِي طَرْفِهَا حَــوَرٌ قَتَلْنَنَا ثُمَّ لَمْ يُحْيِيْنَ قَتْــلاَناَ

يَصْرَعْنَ ذَا اللُّبِّ حَتَّى لاَ حَرَاكَ لَهُ وَهُنَّ أَضْعَفُ خَلْقِ اللّهِ إِنْـسَاناَ

Sesungguhnya indahnya mata-mata hitam wanita jelita

Telah membunuh kita dan tiada lagi menghidupkannya

Mereka pun taklukkan si cerdas hingga tiada berdaya

Sedang mereka manusia paling lemah dari ciptaan-Nya

Lantaran dia, laki-laki enggan bekerja. Karena dia, mereka menjadi pemalas dan pelamun. Dan oleh sebab dirinya, Muslim taat enggan pergi berjihad. Jamil Butsainah berkata:

يَقُوْلُوْنَ: جَاهِدْ يَا جَمِيْلُ بِغَزْوَةٍ أَيَّ جِهَادٍ غَيْرَهُنَّ أُرِيْــدُ

لِكُلِّ حَدِيْثٍ بَيْنَهُنَّ بَـشَاشَةٌ وَ كُلُّ قَتِيْلٍ بَيْنَهُنَّ شَهِيْـدُ

Mereka berkata: Jihadlah, wahai Jamil di peperangan

Jihad mana lagi selain bersama mereka yang ku inginkan

Pada setiap alur cerita diantara mereka adalah suka cita

Dan setiap korban di tengah mereka adalah syahid matinya

Itulah sebagian kecil dari dampak godaan wanita yang dapat kita perhatikan bersama. Godaan wanita yang jauh dari agama, yang tidak taat akan aturan-aturan Rabb-Nya, wanita calon penghuni neraka.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada wanita-wanita muslimat kepada jalan yang lurus, dan menjadikan keluarga, sahabat, saudara, tetangga, serta masyarakat kita, baik laki-laki maupun wanita, menjadi Muslim dan Muslimah yang taat terhadap ajaran agama. Amin.

“HIKMAH” DARI SEORANG GANDHI

“HIKMAH” DARI SEORANG GANDHI


Siapa gerangan yang tak mengenal Mohandas Karamchand Ghandi alias Mahatma Gandhi? Seorang karismatik yang diberi gelar Father of Nation (Bapak Negara). Dia berjuang untuk melepaskan tirani kolonialisme Inggris dengan cara civil disobedience (ketidakpatuhan masyarakat sipil) yang dibangun di atas prinsip ahimsa (non kekerasan) sehingga membawa kepada kemerdekaan India. Bahkan kelahirannya dijadikan sebagai peringatan kenegaraan Gandhi Jayanti di India, dan International Day of Non Violance (Hari Non Kekerasan Sedunia) oleh dunia internasional. Betapa banyak orang yang memuliakan dan mengelu-elukan seorang Gandhi, tidak terkecuali bangsa Indonesia. Acap kali kita melihat, orang menukil dan membawa ucapan “hikmah” Gandhi yang menurut mereka penuh dengan pelajaran dan hikmah, tak terkecuali saudara kita seaqidah.

Berikut ini adalah salah satu “hikmah” Gandhi yang patut kita renungkan…

Ghandi mengatakan :

‘Mother cow is in many ways better than the mother who gave us birth. Our mother gives us milk for a couple of years and then expects us to serve her when we grow up. Mother cow expects from us nothing but grass and grain. Our mother often falls ill and expects service from us. Mother cow rarely falls ill. Here is an unbroken record of service which does not end with her death. Our mother, when she dies, means expenses of burial or cremation. Mother cow is as useful dead as when she is alive. We can make use of every part of her body-her flesh, her bones, her intestines, her horns and her skin. Well, I say this not to disparage the mother who gives us birth, but in order to show you the substantial reasons for my worshipping the cow.’ (H, 15-9-1940, p. 281)

“Sapi betina, dalam banyak hal, lebih baik dari pada ibu yang melahirkan kita. Ibu kita memberikan kita susu hanya untuk beberapa tahun lalu kemudian ia mengharapkan kita untuk melayaninya setelah kita tumbuh dewasa kelak. Sedangkan sapi betina tidak mengharapkan kita apa-apa, melainkan hanya alang-alang dan rerumputan. Ibu kita sering kali jatuh sakit dan mengharapkan pelayanan dari kita, sedangkan sapi betina, jarang jatuh sakit. Inilah catatan/record pelayanan yang tak terpecahkan yang tidak akan berakhir sampai akhir hayatnya. Ibu kita, ketika beliau meninggal, memerlukan biaya tidak sedikit untuk pemakaman atau kremasi (pembakaran mayat). Sedangkan sapi betina, tidak kalah kegunaannya semasa mati dan hidupnya. Kita dapat memanfaatkan setiap bagian tubuhnya, daging, tulang, jeroan, tanduk dan kulitnya. Saya mengatakan begini tidak untuk mencela ibu kita yang telah melahirkan kita, namun untuk menunjukkan kepada anda alasan pokok kenapa saya menyembah sapi.”

Demikianlah, salah satu “hikmah” yang diutarakan oleh Ghandi. “Hikmah” yang menunjukkan hakikat dirinya dan alasan utamanya sebagai penyembah sapi. Selain itu, Gandhi juga seringkali mengatakan, “The God is truth (sathya)” (Tuhan adalah kebenaran), dan di kemudian hari ia merubah ucapannya dan mengatakan, “truth (sathya) is god”. (The Story of My Experience with Truth).

Padahal, Alloh Ta’ala berfirman :

إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً

“Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqon : 44)

Tidak diragukan lagi, sapi termasuk binatang ternak. Dan sungguhlah benar firman Alloh Ta’ala di atas, bahwa para penyembah selain Alloh itu lebih sesat daripada binatang ternak. Lantas bagaimanakah gerangan dengan orang yang menyembah hewan ternak? Dan hikmah apakah yang dikehendaki dari orang yang lebih sesat jalannya daripada binatang ternak?!!

Semoga Alloh memberikan kita hidayah…

Ditulis oleh abu salma di http://abusalma.wordpress.com/2008/10/30/%E2%80%9Chikmah%E2%80%9D-dari-seorang-gandhi/

Hukum Wanita haidh berdiam di masjid dan membaca al-Qur’an

Pertanyaan : Bagaimana hukumnya wanita haidh yg berdiam diri dimasjid, dan bagaimana jika membaca al-qur’an?

Jawab :

Ada dua pembahasan dalam hal ini, yaitu (1) hukum wanita haidh berdiam diri di Masjid dan (2) hukum wanita haidh membaca al-Qur`an.

Untuk pertanyaan pertama, yaitu tentang hukum wanita haidh berdiam diri di masjid. Maka dalam hal ini para ulama semenjak salaf dan kholaf berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya wanita muslimah yang sedang haidh berdiam diri di masjid. Sebagian Syafi’iyah melarang wanita haidh dan nifas untuk berdiam diri di masjid dan melewati masjid. Sedangkan Hanabilah, memperbolehkan wanita haidh dan nifas untuk lewat saja namun tidak memperbolehkan berdiam diri di masjid. Diantara yang berpendapat tidak bolehnya wanita haidh berdiam diri di masjid adalah Syaikh al-‘Allamah al-‘Utsaimin rahimahullahu dan Syaikh al-Muhaddits ‘Abdul Karim al-Khudair hafizhahullahu.

Sebagian ulama ada yang memperbolehkan secara mutlak, seperti yang dibawakan oleh Imam asy-Syaukani dalam Naylul Authar dari Imam al-Muzanni sahabat Imam Syafi’i, Imam Nawawi juga membawakan riwayat di dalam al-Majmu´ dari Zaid bin Aslam, demikian pula penulis kitab al-Fathur Robbani lit Tartibil Musnad dari Zaid bin Tsabit dan Dawud azh-Zhahiri. Diantara ulama kontemporer yang berpendapat bolehnya wanita haidh berdiam diri di Masjid adalah Syaikh al-Muhaddits al-Albani rahimahullahu dan Syaikh Musthofa al-‘Adawi dalam Jami’ Ahkamin Nisa’.

Yang rajih (kuat) sejauh pengetahuan kami adalah, boleh bagi wanita muslimah haidh untuk melewati atau berdiam diri di masjid. Hal ini disebabkan tidak ada satu dalilpun yang sharih (tegas) dan shahih yang menunjukkan pelarangan hal ini. Namun yang lebih selamat adalah bagi wanita haidh untuk menjauhi masjid. Wallohu a’lam.

Adapun membaca Al Qur’an bagi seorang yang terkena junub, wanita haid dan nifas, maka dalam masalah ini ada perbedaan di antara ‘Ulama. Ada yang membolehkan secara mutlak, ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada pula yang mengharamkan bagi orang yang terkena junub, tapi membolehkan bagi orang yang haid dan nifas.

Dan yang lebih mendekati kebenaran -sejauh pengetahuan kami- adalah yang membolehkan secara mutlak dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha : ”Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa berdzikir dalam setiap keadaan”.(HR. Muslim) dan Al-Qur’an adalah termasuk dzikir yang paling mulia.

2. Baro’ah Al Ashliyah (kembali kepada hukum asal), karena tidak ada satupun dalil yang shahih yang menunjukkan keharamannya.

Dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.

Imam Bukhori berkata: ”Ibrahim berkata: “Tidak mengapa bagi wanita haid untuk membaca ayat Al-Qur`an, dan Ibnu Abbas berpendapat akan bolehnya seseorang yang junub untuk membaca al-Qur’an, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdzikir dalam segala keadaan.”

Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh yang mengharamkan, maka tidak lepas dari dua hal, kalau tidak lemah, pasti ihtimal (mengandung beberapa makna), diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Hadits: ”Tidak boleh seseorang yang haid atau junub untuk membaca Al-Qur’an”, hadits ini adalah dhoif sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar.

2. Ayat yang artinya: ”tidak boleh menyentuhnya (Al-Quran) kecuali “Al-Muthohharun” (orang yang disucikan). Jawabannya adalah, bahwa yang di maksud al-Muthohharun di sini adalah para malaikat, sedangkan manusia adalah al-Mutathohhirun (orang-orang yang bersuci) dan bukan yang disucikan. Jadi manusia tidak masuk dalam ayat di atas, dengan demikian ayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengharamkan orang haidh dan junub untuk membaca Al-Quran.

3. Hadits ”Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”. Dan inipun bisa dijawab, bahwa orang islam adalah suci, sebagaimana hadits: ”Bahwa orang islam itu tidak najis” (HR. Bukhori dan Muslim).

Jadi kesimpulanya adalah, bahwa membaca al-Quran bagi orang yang junub haid dan nifas adalah boleh berasarkan kaidah asal yang telah disebutkan dan keumuman hadits, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdzikir dalam setiap keadaan, kalaupun hal itu masuk dalam katagori larangan, maka bukan menunjukkan keharaman tapi makruh. Wallohu A’lam. Wallohu a’lam bish showab.

(disarikan dari kitab As’ilah Thoola Haulahal Jidal, karya Syaikh Abdurrahman Abdush Shomad dengan beberapa tambahan).
http://konsultasi.stai-ali.ac.id/?p=117

Hukum Bursa dan Valas

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum
Ane mau nanya nih… Apa hukum kerja di valas dan bursa efek? Syukron (Zakaria|Surabaya|Pria|Mahasiswa)

Jawaban :

Wa’alaikumus Salam Warohmatullahi Wabarokatuh.

Saudara Zakaria yang budiman…

Sesungguhnya Islam adalah agama yang universal dan komprehensif. Mencakup dan menjelaskan semua hal, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalah (interaksi) jual beli atau transaksi bisnis. Mu’amalah di dalam Islam bersifat adil, jujur dan saling menguntung kedua belah fihak. Kaidah Syar’iyah di dalam Islam dalam hal mu’amalat dan jual beli adalah pada asalnya halal dan mubah, sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS al-Baqoroh : 29)

Dari sinilah para ulama ushul fikih mengambil dasar argumentasi di dalam menetapkan kaidah “hukum asal di dalam masalah mu’amalah adalah halal/boleh, sampai ada dalil yang memalingkan kehalalannya.”

Maka barangsiapa yang mengharamkansesuatu di dalam perkara mu’amalah, maka ia harus menunjukkan dalilnya. Karena suatu yang haram itu adalah yang diharamkan Alloh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, demikian pula sebaliknya.

Adapun suatu bagian mu’amalah yang Alloh dan Rasul-Nya haramkan, orang yang berakal ketika mengamatinya niscaya ia akan mendapati bahwa sistem mu’amalah tersebut adalah merugikan manusia, karena terkandung padanya bentuk penzhaliman kepada salah satu fihak yang bertransaksi atau kedua-duanya. Bisa jadi karena adanya unsur riba, perjudian, ghoror (penipuan), jahalah (ketidaktjelasan) ataupun pengkhianatan.

Lantas bagaimana dengan transaksi di pasar bursa?

Untuk itu kita harus mengetahui dulu, apa itu Bursa. Bursa adalah suatu tempat pertemuan atau pasar yang di dalamnya dijalankan transaksi jual beli saham dan sanadat (surat obligasi). Saham adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh suatu badan usaha, yang memiliki nilai tertentu pada tiap lembarnya. Orang yang memiliki saham, maka ia memiliki bagian di dalam perusahaan tersebut. Semakin besar saham yang ia miliki, maka akan semakin besar bagian yang ia miliki di dalam perusahaan tersebut. Sedangkan obligasi adalah surat hutang yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan nilai tertentu, dimana perusahaan dalam hal ini melakukan pinjaman/hutang kepada orang yang membeli surat obligasi dengan jangka waktu tertentu dan dengan bunga tertentu.

Di dalam sistem bursa, ada beberapa unsur keharaman di dalamnya, diantaranya :

1. Adanya unsur riba. Hal ini tampak pada adanya surat obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai bentuk pinjaman berbentuk kertas bernilai dengan jangka waktu tertentu dan bunga tertentu.
2. Adanya unsur ghoror. Yaitu para pemodal besar bisa mengatur harga dan fluktuasi saham sehingga merugikan pemodal kecil. Misalnya, pemodal besar mengeluarkan surat saham dan obligasi dalam jumlah besar sehingga harganya menjadi jatuh karena banyaknya penawaran. Akibatnya, pemodal kecil menjadi takut mengalami kerugian besar, sehingga mereka menjual sahamnya lebih murah, dan pemodal besar pun dapat membeli saham dengan harga lebih murah dan pemodal besar-lah yang diuntungkan dalam hal ini.
3. Adanya unsur jahaalah (ketidakjelasan). Di dalam pasar bursa, saham dan surat obligasi yang dikeluarkan suatu perusahaan seringkali bukanlah keadaan riil perusahaan tersebut. Seringkali untuk meningkatkan penjualan saham, perusahaan menghembuskan informasi akan majunya suatu perusahaan dan keuntungan yang diperoleh. Padahal bisa jadi perusahaan tersebut dalam keadaan “mati suri” atau tidak begitu maju. Para pembeli di pasar bursa, mereka tidak mengetahui keadaan ril perusahaan yang akan mereka beli sahamnya, informasi yang mereka dapatkan hanyalah hembusan isu yang bisa jadi penuh dengan manipulasi dan berita bohong. Akhirnya mereka pun meningvestasikan harta mereka ke suatu perusahaan yang tidak mereka ketahui keadaan riilnya.
4. Adanya unsur penipuan. Ini suatu hal yang jelas. Karena penipuan di dalam dunia bursa adalah suatu hal yang biasa. Manipulasi fakta suatu perusahaan, berita bohong jatuh atau naiknya suatu saham, monopoli penjualan pemodal besar yang dapat mengatur naik turunnya harga saham, dll, merupakan salah satu bentuk penipuan.
5. Tidak adanya unsur serah terima kontan (cash) dalam transaksi bursa. Transaksi berlangsung hanya melalui monitor komputer yang tersambung secara online. Bahkan bisa jadi suatu saham yang dibeli oleh seseorang dengan cara pinjaman, kemudian dijual lagi dengan harga lebih tinggi.
6. Adanya unsur perjudian. Di pasar bursa, banyak orang menggantungkan nasibnya kepada spekulasi-spekulasi ekonomi akan kejatuhan atau naiknya suatu saham. Mereka senantiasa mencari informasi-informasi terkini tentang berita ekonomi. Apabila mereka mendengarkan berita baik, mereka berspekulasi dan membeli saham tersebut. Semua spekulasi tersebut bergantung kepada informasi-informasi yang bisa jadi penuh dengan manipulasi dan berita bohong dari pemodal besar, untuk mendongkrak keuntungan suatu perusahaan atau menjatuhkan perusahaan lainnya saingannya.

Hal ini sebagaimana difatwakan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullahu ketika beliau ditanya tentang jual beli di pasar Bursa.

Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman menjawab :

“Masalah yang berkaitan dengan aktivitas ­ash-Shorf (money exchange/pertukaran mata uang) telah disebutkan di dalam buku-buku fikih dan masalah ini luas pembahasannya. Di dalam hadits riwayat Abu Sa’id dalam Kutub as-Sittah (kitab induk hadits yang enam), yang sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

الذهب بالذهب والفضة بالفضة يدأ بيد وها وها

“(Pertukaran) emas adalah dengan emas, perak dengan perak, langsung dari tangan ke tangan, wa hâ wa hâ.”

Yang dimaksud dengan wa hâ wa hâ, adalah berikan (milikmu) dan ambil (milikku) [maksudnya adalah kontan]. Dan mekanisme seperti ini berguna untuk menghilangkan pertikaian di antara kaum muslimin.

Adapun seseorang duduk di depan layar (komputernya), kemudian memperjualbelikan hartanya, yang mana ia bisa untung dan rugi baik sedikit atau banyak secara kebetulan, maka hal ini termasuk perjudian.

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata : “Hukum asal harta benda adalah bernilai untuk komoditi (barang dagangan). Adapun menjadikan harta sebagai komoditi, yaitu memperjualbelikannya tanpa ada keperluan atau mendesak, maka yang demikian ini dapat merugikan harta yang dimiliki masyarakat.” Memang hukum asal di dalam harta adalah bernilai untuk (ditukar) dengan sesuatu, namun bukan artinya harta itu dapat dijadikan komoditi yang diperjualbelikan dengan begitu saja.

Manusia di zaman ini, duduk di depan instrumen/alat (seperti komputer), melakukan jual beli dan tidak melakukan barter karena suatu keadaan mendesak, seperti mereka berkeinginan untuk bepergian dari satu negeri ke negeri lain, ia membutuhkan mata uang lain, atau seperti seseorang yang hendak menghentikan kekacauan dan goncangan terhadap nilai kurs mata uang, lantas ia ingin menjaga hartanya –sebagaimana yang terjadi di beberapa Negara- untuk menghilangkan kerugiannya. Akan tetapi keuntungan yang ia inginkan dengan cara menjadikan hartanya sebagai komoditi, padahal tidak boleh hukumnya menjadikan hartanya sebagai komoditi yang diperjualbelikan.

Barangsiapa yang melakukan hal ini, maka ini termasuk salah satu bentuk perjudian. Wallâhu Ta’âlâ a’lâm.

(Pelajaran Syarh Shahîh Muslim tanggal 19/6/2008)

Dan masih banyak lagi dampak buruk sistem transaksi kapitalis ini. Diantara dampak paling buruk dari jual beli di dalam pasar bursa adalah, rusaknya mekanisme riil pasar akibat bergantungnya sistem perekonomian kepada sistem transaksi bursa yang tidak mencerminkan kondisi riil pasar, sehingga akibatnya menyebabkan krisis ekonomi dan bencana finansial. Demikianlah, resesi ekonomi global yang terjadi, adalah disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis seperti perbankan ribawi, kredit ribawi, dan pasar modal bursa yang sarat dengan penyelewengan dan keharaman.

Adapun jual beli valas (valuta asing), maka boleh hukumnya dengan syarat at-Taqabudh (barang ada di tangan) dan diserahterimakan secara langsung (yad bi yad). Hal ini sebagaimana difatwakan oleh Imam Ibnu Baz dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallohu. Adapun jual beli valas tanpa adanya taqabudh dan tidak diserahterimakan secara langsung, tidak boleh hukumnya. Apalagi jika jual beli valas berlangsung di pasar bursa.

Jadi berkaitan dengan bekerja di Bursa Efek, maka hukumnya adalah haram, sebagaimana penjelasan di atas. Kami nasehatkan pula kepada saudara-saudara kami kaum muslimin yang masih bekerja dan bertransaksi di pasar bursa untuk meninggalkannya. Karena bekerja dan bertransaksi di dalamnya termasuk bentuk ta’awun ‘alal itsmi wal ‘udwan (kerja sama dalam masalah dosa dan permusuhan). Ketahuilah wahai saudaraku, masih banyak ladang usaha lainnya yang insya Alloh halal dan mubah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersanda : “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Alloh, maka Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik.”

Wallohu Ta’ala a’lam bish showab.
http://konsultasi.stai-ali.ac.id/?p=81

November 20, 2008

10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Ke Dalam Lembah Maksiat

Alih Bahasa: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba'du.
Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah... Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya…. Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat
perbuatan baikNya kepadamu........
apabila engkau berlimpah nikmat maka jagalah, karena maksiat akan membuat nikmat hilang dan lenyap. Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukumanNya

Kelima, mencintai Allah… arena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya…. Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya…. Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat….

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah…. waktu senggang dan lapang yang dia miliki…. karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan…. sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang
bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati…. Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah…. Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.

Diterjemahkan dari artikel berjudul 'Asyru Nashaa'ih libnil Qayyim li shabri 'anil
ma'shiyah, www.ar.islamhouse.com dinukil dari: http://www.alfirqotunnajiyyah.co.cc/

Inilah Pemilik Dua Cahaya

Utsman bin ‘Affan (Wafat 35 H)

Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin Affanbin Abi Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al Umawy al Qurasy, pada masa Jahiliyah ia dipanggil dengan Abu ‘Amr dan pada masa Islam nama julukannya (kunyah) adalah Abu ‘Abdillah. Dan juga ia digelari dengan sebutan “Dzunnuraini”, dikarenakan beliau menikahi dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ibunya bernama Arwa’ bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams yang kemudian menganut Islam yang baik dan teguh.

Keutamaannya

Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Aisyah, seraya berkata,” Pada suatu hari Rasulullah sedang duduk dimana paha beliau terbuka, maka Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk menutupinya dan beliau mengizinkannya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka). Kemudian Umar minta izin untuk menutupinya dan beliau mengizinkannnya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka), ketika Utsman meminta izin kepada beliau, amaka beliau melepaskan pakaiannya (untuk menutupi paha terbuka). Ketika mereka telah pergi, maka aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar telah meminta izin kepadamu untuk menutupinya dan engkau mengizinkan keduanya, tetapi engkau tetap berada dalam keadaan semula (membiarkan pahamu terbuka), sedangkan ketika Utsman meminta izin kepadamu, maka engkau melepaskan pakainanmu (dipakai untuk menutupinya). Maka Rasulullah menjawab,” Wahai Aisyah, Bagaimana aku tidak merasa malu dari seseorang yang malaikat saja merasa malu kepadanya”.

Ibnu ‘Asakir dan yang lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhail ash Shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Utsman, maka beliau menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang dipanggil dengan Dzunnuraini, dimana Rasulullah menikahkannya dengan kedua putrinya.

Perjalanan hidupnya

Perjalanan hidupnya yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat islam adalah beliau membukukan Al-Qura’an dalam satu versi bacaan dan membuat beberapa salinannya yang dikirim kebeberapa negeri negeri Islam. Serta memerintahkan umat Islam agar berpatokan kepadanya dan memusnahkan mushaf yang dianggap bertentangan dengan salinan tersebut. Atas Izin allah Subhanahu wa ta’ala, melalui tindakan beliau ini umat Islam dapat memelihara ke autentikan Al-Qur’an samapai sekarang ini. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang terbaik.

Diriwayatkan dari oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari yunus bahwa ketika al Hasan ditanya tentang orang yang beristirahat pada waktu tengah hari di masjid ?. maka ia menjawab,”Aku melihat Utsman bin Affan beristirahat di masjid, padahal beliau sebagai Khalifah, dan ketika ia berdiri nampak sekali bekas kerikil pada bagian rusuknya, sehingga kami berkata,” Ini amirul mukminin, Ini amirul mukminin..”

Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitabnya “Hulyah al Auliyah” dari Ibnu Sirin bahwa ketika Utsman terbunuh, maka isteri beliau berkata,” Mereka telah tega membunuhnya, padahal mereka telah menghidupkan seluruh malam dengan Al-Quran”.

Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, seraya ia berkata dengan firman Allah”. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs Az-Zumar:9) yang dimaksud adalah Utsman bin Affan.

WafatnyaIa wafat pada tahun 35 H pada pertengahan tasyriq tanggal 12 Dzul Hijjah, dalam usia 80 tahun lebih, dibunuh oleh kaum pemberontak (Khawarij).

Diringkas dari Biografi Utsman bin affan dalam kitab Al ‘ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy. Penerbit Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rab’ul Awal di Madinah al Nabawiyah. (http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/01/utsman-bin-%E2%80%98affan-wafat-35-h/)